Selasa, 11 November 2008

MANGROVE (HUTAN BAKAU)

* Jenis : Hasil survei Dinas Kehutanan, UNDANA dan IPB pada tahun 1995
berhasil mengindentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu dan
Semau. Sedangkan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP hutan mangrove di Nusa
Tenggara Timur terdapat kurang lebih 9 famili yang terbagi dalam 15 spesies
antara lain: bakau Genjah (Rizophora mucronata), bakau Kecil (Rizophora apiculata),
bakau Tancang (Bruguera spp), bakau Api-api (Avecinnia spp), bakau Jambok
(Xylocorpus spp), bakau Bintaro (Cerbera mangkas), bakau Wande(Hibiscus tiliacues)
dan lain-lain.

* Luas : Luas hutan mangrove di propinsi Nusa Tenggara Timur adalah 40.695
Ha atau 2.25 % dari luas kawasan hutan.

* Luas Kerusakan : Kerusakan hutan mangrove di NTT tercatat kurang lebih 9.989
Ha dalam kondisi rusak berat sedangkan rusak ringan seluas 8.453 Ha.

* Fauna dominan : (1), (2), (3)
Cari lagi di Dinas Pertanian dan Perikanan

* Keterangan :
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tiga lembaga (Dishut,
UNDANA dan IPB) bahwa potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar
karena di NTT, hutan mangrove dapat ditemukan dan tersebar di perairan NTT.
Bahkan ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan
dengan ekosistem pesisir lainnya.
Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di
Indonesia, ini disebabkan karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan
mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga
pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis. Dibeberapa lokasi mangrove dapat
tumbuh dengan baik karena didukung oleh muara sungai besar dengan sedimentasi
yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara
sungai Noelmina di kabupaten Kupang.
Dari 40.695 Ha luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang
mengalami tekanan yang cukup besar diantaranya sebagai akibat penebangan
hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar
dan lain-lain.

REHABILITASI
* Nama Program :
Prespektif Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan.

* Keterangan :
Sumberdaya pesisir dan laut di NTT menyimpan kekayaan yang cukup
melimpah, baik sumberdaya hayati maupun non hayati seperti perikanan, mineral,
minyak bumi, pariwisata dan jasa-jasa lingkungan lainnya. Namun dibalik peran
strategis dan prospek yang cerah dari sumberdaya pesisir dan laut NTT, terdapat
berbagai kendala dan kecenderungan degradasi yang mengancam kapasitas
berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.
Di NTT, degradasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan tidak saja
oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti perubahan suhu dan
salinitas air laut, perubahan iklim, obak keras, gempa, tsunami dsbnya. Namun dari
data yang diperoleh bahwa kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah
diakibatkan oleh pengaruh antropogenic (aktivitas manusia) antara lain pencemaran
laut oleh tumpahan minyak dan buangan sampah, tangkapan lebih (overfishing),
penambangan terumbu karang, konservasi mangrove menjadi tambak, pemboman
ikan menggunakan potasium dan sianida, merupakan sebagian indikator bahwa
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di NTT menuju kearah yang tidak optimal
dan tidak berkelanjutan.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut dapat dilakukan antara lain
melalui upaya-upaya penanaman mangrove, silvofishery, transplatasi karang dan
penerapan teknologi karang buatan (artificialreefs).
Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam prespektif
berkelanjutan bertujuan untuk melestarikan kemampuan sumberdaya pesisir dan laut
dalam jangka panjang dengan mengelola sebagian dari kekayaan alam melalui
pendekatan ekologis, dengan strategi dunia berlandaskan ecodevelopment, sebagai
berikut:
a. Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis beserta sistem-sistem
penyangga kehidupan.
B. Pengawetan keanekaragarnan sumber plasma nutfah yang dilakukan di
dalam kawasan dan di luar kawasan serta pengaturan tingkat pemanfaatan
jenis-jenis terancam punah dengan memberikan status perlindungan.
c. Pelestarian pernanfaatan jenis dan ekosistemnya, melalui
- Pengendalian eskploitasi/pemanfaatan sesuai prinsip-prinsip
pelestarian.
- Memajukan usaha-usaha penelitian, pendidikan dan
pariwisata.
- Pengaturan perdagangan flora dan fauna.

* Nama Program :
GEMALA (Gerakan Masuk Laut)

* Keterangan :
Pelaksanaan Pokja III Gemala dalam upaya konservasi dan
rehabilitasi sumberdaya. pesisir dan laut di NTT dilakukan melalui berbagai
pendekatan dan manajemen Gemala yang diformulasikan secara cermat melalui
rancang tindak program, kegiatan dan rencana strategis.
Pokja III Gemala dibangun melalui integrasi dari berbagai sektor dan disiplin ilmu.
dalam suatu rencana induk dengan jejaring kerja yang disusun secara menyeluruh
dan terperinci, yang menjelaskan siapa berbuat apa dan kapan serta keterkaitan
tiap kegiatan dan penanggungjawab utamanya. Oleh karena itu, keberhasilan
dalam konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut harus dilakukan
secara terpadu antar/intra sektor, program dan kegiatan serta dilaksanakan oleh
berbagai instansi baik secara horisontal (horizontal integration), yakni adanya
koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi
pemerintah pada tingkat pemerintah daerah maupun secara vertikal (vertical
integration) antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat.
Mengingat sifat pesisir dan laut yang multidimensi, maka konservasi dan rehabilitasi
sumberdaya pesisir dan laut secara prinsip harus diselenggarakan dalam
keseluruhan proses, pada tataran teknis, konsultatif dan koordinasi, dari tahap
perencanaan sampai tahap pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Pada
tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan secara
seimbang dan proporsional dimasukkan ke dalam setiap tahapan kegiatan. Pada
tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat
diperhatikan, kepentingan semua sektor yang terkait harus mendapat pertimbangan
yang seksama dan dipecahkan secara bersama. Pada tataran koordinasi,
masyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antar semua stakeholder.
Koordinasi kebijakan diperlukan untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang
kontradiktif sehingga dapat dicapai persepsi yang sama, dengan mengharmoniskan
dan mengoptimalkan antara keseimbangan untuk memelihara lingkungan,
keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi. Dengan persepsi yang sama
akan pentingnya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut
diharapkan adanya suatu pemikiran maupun tindakan yang diwuJudkan dalam
berbagai program dan kegiatan secara terpadu dan berkelanjutan.
Untuk dapat menghasilkan program dan kegiatan konservasi dan rehabilitasi yang
aplikatif dan sesuai kebutuhan, maka diperlukan kemampuan para pihak untuk
mengkaji semua komponen dan semua hubi4ngan dengan penekanan pada isu-isu
kunci.
Dengan demikian akan dihasilkan rencana konseptual yang lebih realistik, dapat
diterima secara rasional dan mudah diimplementasikan secara operasional.
Pelaksanaan program dan kegiatan POKJA III GEMALA dilakukan
melalui koordinasi dengan melibatkan para pihak terkait dengan peran, tugas dan
tanggungjawab masing-masing sesuai kapasitasnya.
Tindak nyata peran Pokja III Gemala dalam pengembangan wilayah pesisir dan
laut NTT teraktualisasi melalui berbagai tindakan nyata konservasi dan rehabilitasi
sumberdaya pesisir dan laut, yang tercermin dalam Program dan Kegiatan aksi
POKJA III GEMALA. Secara sektoral, masing-masing sektor/instansi
menterjemaahkan dan memprogramkan kegiatan sesuai ,sasaran dan tujuan POKJA
dalam kerangka kerja tugas, pokok dan fungsinya.
Berikut peran Pokja III melalui berbagai aksi dan tindakan nyata pelaksanaan
konservasi dan rehabilitasi yang sedang dan telah dilakukan:
1. Pengembangan model rehabilitasi hutan mangrove melalui pemilihan teknik
rehabilitasi dengan pendekatan silvofishery.
2. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi karang melalui transplatasi
karang dan pengembangan terumbu karang buatan.
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam rangka
pelestarian hutan mangrove melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
dengan pola partisipatiL
4. Pemberdayaan masyarakat melalui pendampingan kelompok nelayan
untuk pemeliharaan dan penyulaman anakan mangrove.
5. Meningkatkan pemahaman, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan
konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut melalui sosialisasi
kegiatan POKJA III GEMALA, rapat koordinasi dan RAKERNIS POKJA III
GEMALA.
6. Pengembangan dan pengelolaan potensi ekowisata bahari
7. Pembinaan, pengawasan, pengamanan dan monitoring ekosistem pesisir
dan laut melalui:
* Patroli pesisir di perairan teluk Kupang, Rote, Naikliu, Atapupu, Flotim,
Alor, Manggarai Barat dan Sumba Timur.
* Pembangunan 7 (tujuh) kantor/pos pemantauan pelayanan pesisir
pantai terpadu di kabupaten Rote, Atapupu, Labuan Bajo, Flotim, Sumba
Timur dan Alor.
* Pengawasan sumberdaya pesisir dan laut di teluk Kupang, Lembata,
Flores Timur, Sikka dan Alor.
* Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan penggunaan bahan
peledak dan alat tangkap terlarang lainnya dalam menangkap ikan.
* Operasi pengamanan peredaran, pemanfaatan bom dan potas.
8. Penegakan hukum melalui penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak
pidana perairan.
9. Penelitian-penelitian konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir
danlaut:
* Penelitian teknik rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan
silvofishery.
* Penelitian transplatasi karang.
1O.Pengembangan data dan informasi potensi dan kualitas sumberdaya pesisir
dan laut NTT.

Pokja III Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Gemala
memegang peranan yang penting dalam pengembangan wilayah pesisir dan laut
NTT. Keberhasilan Pokja ini menuntut adanya partisipasi para pihak yang mana
dalam pelaksanaannya tetap didasarkan pada manajemen GEMALA, yakni
memberi peran yang lebih pada masyarakat, kelompok masyarakat dan swasta,
sedangkan pemerintah lebih bertindak sebagai fasilitator. Melalui Pokja III Gemala
diharapkan semua pihak yang berkompeten dapat berkiprah secara efisien dan
mencapai sasarannya dengan menganut prinsip-prinsip pengelolaan yang
berwawasan lingkungan dan lestari sesuai filosofi Gemala.

REHABILITASI LOKASI
Untuk mengefektifkan pelaksanaan kegiatan dan rencana aksi Pokja
III, maka pendekatan pelaksaan dilakukan dengan pendekatan kewilayahan
dimana paket kegiatan ditetapkan dengan memperhatikan tipologi wilayah sbb:

(1) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I meliputi wilayah Timor Barat dan
Alor terbagi atas sub-sub wilayah pengembangan yakni:
a. Sub I Atapupu: Pesisir utara Kabupaten TTU dan Belu dengan pusat
pengembangan di Atapupu dan Wini.
b. Sub Il Kupang Utara: Pesisir utara Kabupaten Kupang daratan dan
Pesisir P. Semau dengan pusat wilayah di Kupang - Bolok.
c. Sub III Selatan Timor: Pesisir selatan P. Timor dengan pusat di Kolbano.
d. Sub IV Rote: Pesisir P. Rote dan Sabu dengan pusat di Pantai Baru.
e. Sub V Kalabahi: Pesisir Kepulauan di Kabupaten Alor dengan pusat di
Kalabahi.


(2) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) II meliputi wilayah Flores dan
Lembata terbagi atas sub-sub wilayah pengembangan yakni:
a. Sub I Lewoleba: Pesisir Kabupaten Lembata dan Kabupaten Flotim
Kepulauan dengan pusat di Lewoleba.
b. Sub Il Maumere: Pesisir Kabupaten Flotim daratan dan pesisir utara
Kabupaten Sikka dengan pusat di Maumere.
c. Sub III Ende: Pesisir selatan Kabupaten Sikka, Ende dan Ngada
dengan pusat di Mbay.
d. Sub IV Mbay: Pesisir utara Kabupaten Ende dan Ngada dengan pusat
di Mbay.
e. Sub V Labuan Bajo: Pesisir Kabupaten Manggarai dengan pusat di
Labuan Bajo.

(3) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) III meliputi wilayah Sumba
dengan sub-sub wilayah sebagai berikut:
a. Sub I Waingapu: Pesisir Kabupaten Sumba Timur dengan pusat di
Waingapu.
b. Sub II Waikelo: Pesisir Kabupaten Sumba Barat dengan pusat di
Waikelo.

Sedangkan Tipologi Wilayah GEMALA:
1. Wilayah Tipe I : desa-desa yang sebagian besar penduduk nelayan dan
telah melakukan kegiatan tangkap pada laut dalam dan budidaya.
2. Wilayah Tipe Il : desa-desa yang sebagian penduduk nelayan perairan
dangkal/pantai dan sebagian lainnya petani.
3. Wilayah Tipe III : desa-desa sebagian kecil penduduk sebagai nelayan
dan sebagian besar petani.

Manajemen pelaksanaan POKJA III didasarkan pada manajemen GEMALA.
Manajemen GEMALA yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
a. Pola KSO (Kerjasama Operasional), dilaksanakan terutama pada lokasi
dimana masyarakatnya sudah relatif mandiri.
b. Kemitraan (Partnership), membangun dengan pola kemitraan merupakan
kunci keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.
c. Pendampingan Pemerintah, terutama ditujukan bagi kegiatan yang
belum memungkinkan dilakukan kegiatan dengan pola KSO dan pola
kemitraan.

Konservasi Sumber Daya Alam Indonesia

Ditinjau dari bahasa, konservasi berasal dari kata conservation, dengan pokok kata to conserve (Bhs inggris) yang artinya menjaga agar bermanfaat, tidak punah/lenyap atau merugikan. Sedangkan sumber dalam alam sendiri merupakan salah satu unsur dari liungkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati, serta seluruh gejala keunikan alam, semua ini merupakan unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dari sedikit uraian tersebut diatas, maka konservasi sumber daya alam dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam yang dapat menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan pertsediaannyadengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragamannya.
Menurut kemungkinan pemulihannya, kita mengenal 2 (dua) macam sumber daya alam, yaitu :
1. Renevable, sumber daya alam yang dapat dipulihkan/  diperbaharui, yaitu sumber daya alam yang dapat dipakai kembali setelah diadakan beberapa proses.
Contoh : air, pohon, hewan dll
2. Anrenevable, yaitu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui/ dipulihkan apabila dipakai terus menerus akan habis dan tidaka dapat diperbarui.
Contoh : minyak bumi, batubara, Emas dll.
Pengertian konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dapat mengandung tiga aspek, yaitu :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan
2. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman, jenis baik flora dan fauna beserta ekosistemnya.
3. Pemanfaatan secara lestari bagi terjaminnya sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kendala / permasalahan dan upaya penanggulangannya dalam konservasi lingkungan. Dalam melaksanakan pembangunan konservasi sumber daya alam, dan ekosistemnya masih ditemui kendala  pada umumnya diakibatkan oleh :
1. Tekanan penduduk
Jumlah penduduk Indonesia yang padat sehingga kebutuhan akan sumber daya alam meningkat.
2. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran ekologis dari masyarakat masih rendah, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan yang belum memadai. Sebagai contoh beberapa kawasan konservasi yang telah ditetapkan banyak mengalami kerusakan akibat perladangan liar / berpindah-pindah.
3. Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi yang cukup pesat akan menyerap kekayaan (eksploitasi sumber daya alam) dan kurangnya aparat pengawasan serta terbatasnya sarana prasarana.
4. Peraturan dan perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum cukup mendukung pembentukan kawasan konservasi khususnya laut (perairan).
Agar usaha pembangunan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia dapat mencapai harapan yang telah ditetapkan secara garis besar perlu ditempuh upaya sebagai berikut :
1. Intensifikasi pengelolaan kawasan konservasi
2. Peningkatan dan perluasan kawasan konservasi sehingga mewakili tipe-tipe ekosistem yang ada.
3. Recruitment dan peningkatan ketrampilan personel melalui pendidikan dan latihan.
4. Peningkatan sarana dan prasarana yang memadai.
5. Peningkatan kerjasama dengan isntansi lain didalam dan luar negeri.
6. Penyempurnaan peraturan perundang-undanagn dibidang konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
7. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap kawasan konservasi (dengan pemberian pal-pal batas) peradaran flora dan fauna.
8. Memasyarakatkan konservasi ke seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat berperan serta dalam upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan
Kawasan konservasi adalah merupakan salah satu sumber kehidupan yang dapat meningkatkan kesejahtreraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu usaha-usaha konservasi di Indonesia haruslah tetap memegang peranan penting dimasa yang akan datang, suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa usaha konservasi sumber daya alam tersebut harus dapat terlihat memberikan keuntungan kepada masyarakat luas, hal ini penting untuk mendapat dukungan dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat.

Definisi-definisi
1. Sumber Daya Alam Hayati adalah unsur-unsur hayati dialam yang terdiri dari sumber alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati, adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjaga kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam hayati, adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam baik hayati maupun non hayati yang saling ketergantungan dan pengaruh mempengaruhi.
4. Kawasan suaka alam, adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat dan diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan.
5. Kawasan pelestarian alam, adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatannya secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
6. Kader konservasi dan pecinta alam, adalah seseorang atau sekelompk orang yang telah terdidik atau ditetapkan oleh isntansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang secara sukarela sebagai penerus upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bersedia serta mampu menyampaikan pesan-pesan konservasi kepada masyarakat.
7. Cagar alam, adalah hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alam yang khas termasuk alam hewani dan alam nabati yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

KAJIAN KEBERADAAN HUTAN MANGROVE: PERAN, DAMPAK KERUSAKAN DAN USAHA KONSERVASI

A. PENDAHULUAN

Indonesia membentang sejauh 5000 km dari Sumatra di bagian barat hingga
Irian Jaya di bagian timur. Indonesia merupakan negara archipelago (nusantara)
terbesar di dunia dengan luas teritorial daratan dan lautan kira-kira 7,7 juta km2,
terdiri atas 17.500 pulau dengan garis pantai lebih dari 81.000 km. Hanya Kanada
yang memiliki garis pantai yang lebih panjang dan itupun sebagian besar terkepung
es, dengan begitu Indonesia memiliki garis pantai aktif yang potensial secara
ekonomis yang terbesar di dunia. Hampir 75% dari wilayah terdiri dari perairan
pesisir dan lautan termasuk 3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago serta 2,7
juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Parry, 1996).
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/kpts/DJ/I/1978
tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud dengan hutan
mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut (Darsidi, 1984).
Indonesia yang memiliki pulau-pulau dan garis pantai yang panjang
menunjukkan bahwa apabila hutan mangrove dikelola dengan baik dapat
memberikan manfaat yang sangat besar secara lestari (Tjardana dan Purwanto,
1995).
Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya alam yang potensial telah
lama diusahakan. Pada mulanya bentuk pemanfaatan oleh masyarakat pada
hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain dengan
penebangan hutan mangrove untuk memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun
untuk atap rumah dan sebagainya; serta penangkapan ikan, udang dan jenis-jenis
biota air lainnya. Dan perkembangan selanjutnya pemanfaatan ini berkembang ke
arah bentuk pengusahaan yang bersifat komersial dan dilakukan secara besarbesaran, baik dalam bentuk pengusahaan hutan bakau yang dilakukan pada areal hutan yang tetap dengan pola yang teratur oleh perusahaan perkayuan maupun untuk usaha pertambakan yang makin bertambah meluas. Disamping itu dengan
adanya pertambahan penduduk yang main meningkat, bentuk pemanfaatan tidak
saja dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dari hutan tersebut, tetapi malah
berkembang ke bentuk pemanfaatan lahannya sendiri untuk usaha-usaha lainnya
seperti untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman. Dengan semakin lajunya
pemanfaatan hutan mangrove yang terkait pada berbagai sektor usaha, maka segala
bentuk pemanfaatan ini kemudian diatur dan dikelola secara sektoral
(departemental). Pada saat ini penataan mangrove belum dilakukan secara
keseluruhan. Selain itu adalah demografi belum terkendali dan dinamika hutannya
sendiri belum diungkapkan secara, maka sampai sekarang kegiatan-kegiatan yang
ada masih berjalan sendiri-sendiri baik yang dilakukan oleh instansi yang
berkepentingan maupun oleh masyarakat terutama penduduk yang berdekatan
dengan kawasan hutan mangrove.1
Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut,
sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai
yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu
perairan. Sudah lebih dari seabad hutan mangrove diketahui memberi manfaat pada
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu
sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp
untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat
obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai
fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi
pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan
lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lain adalah sebagai penghasil
bahan organik yang merupakan pakan makanan biota, tempat berlindung dan
memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut. Juga berbagai habitat
satwa terbang, seperti burung-burung air, kelelawar dan berbagai habitat primata
seperti bekantan yang bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung
maupun monyet. Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya,
biawak dan banyak jenis insekta.2
1 Dikutip dari intisari Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990
2 Pengarahan Menteri Kehutanan, Dr. Soedjarwo pada Seminar III Ekosistem Mangrove, Denpasar 5-8
Agustus 1986


B. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DAN PERANANNYA

Hutan mangrove ialah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial
di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan
terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara,
1987).
Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna,
estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan
dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan
perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan.
Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi
sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan
sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang
menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem
mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya.
Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai
yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara
biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai,
termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan,
pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat
bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara
ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku
industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove,
baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis
binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan
mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan
pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987).
Hutan mangrove mempunyai multifungsi yaitu fungsi hayati, fungsi fisik dan
fungsi kimiawi. Sebagai penyumbang kesuburan perairan sudah tidak bisa disangkal
lagi karena kawasan hutan mangrove merupakan perangkap nutrisi dan bahan
organik yang terbawa aliran sungai dan rawa. Bahan organik mengalami
penghancuran oleh fauna hutan mangrove dan selanjutnya proses dekomposisi oleh
jasad renik menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana. Bersama dengan
nutrisi yang dibawa sungai, bahan tersebut diserap oleh tumbuh-tumbuhan (Suwelo
dan Manan, 1986).
Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau
pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan
mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang
dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984).



C. HUTAN MANGROVE, PENDUDUK, EKONOMI
DAN KONSERVASI


Sebagian masyarakat menganggap hutan mangrove adalah daerah tidak
berguna, sarang nyamuk, sarang hama dan bibit penyakit dan kumuh (Ch. Endah
Nirarita, 1993). Karena anggapan tersebut, maka hutan mangrove kurang
berkembang dan cenderung menyusut bahkan menuju kepunahan. Hal ini
disebabkan karena peranan hutan mangrove tidak dapat diungkapkan secara
obyektif dan komprehensif. Mekanisme ekonomi hanya menampung peranan hutan
mangrove yang bisa melewati pasar dan memilih manfaat yang dapat diberi nilai
uang (Emil Salim, 1986; Hadipurnomo, 1995).
Hutan mangrove yang dahulu dianggap sebagai hutan yang kurang
mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang cukup
berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi
masyarakat yang berdiam di sekitarnya (Darsidi, 1984).
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa akhir-akhir ini terlihat gangguangangguan
yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah
ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan
perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah
perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota (Darsidi, 1984).
Agaknya sudah dapat diraba bahwa mati hidupnya ekosistem hutan
mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Dengan masuknya
teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga kedudukan
ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam mengelola hutan mangrove hendaknya
jangan hanya melihat nilai ekonominya saja dengan maksud agar cepat
menghasilkan tanpa melihat kerugian dalam jangka panjang, akan tetapi juga harus
memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata
dan Soerianegara, 1984).
Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan
erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah
lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari
pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman
pantai makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995).
Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan
mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di
perairan sekitar daerah tersebut (Naamin, 1988).
Usaha-usaha pelestarian yang harus dikembangkan adalah:
1. Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi,
hendaknya dengan melihat prioritas sebagai berikut:
a Hutan mangrove yang berdekatan dengan muara sungai
b Hutan mangrove yang berdekatan dengan daerah penangkapan ikan ataupun
daerah pengeringan ikan
c Hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman dan industri
d Hutan mangrove yang merupakan penyangga mutlak terhadap bahaya erosi
maupun banjir
e Hutan mangrove yang mempunyai tumbuhan muda yang rapat
f Hutan mangrove yang terdapat di suatu pulau
2. Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk
memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat
langsungnya
3. Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang
jelas dan pertimbangan yang rasional.3



D. LINGKUP PENELITIAN DAN KAJIAN TENTANG
HUTAN MANGROVE

Penelitian mengenai hutan mangrove di Indonesia perlu ditingkatkan dengan
memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan, antara lain:
a Penelitian multidisiplin tentang sifat biologi, geografi dan fisik hutan mangrove
serta hubungan timbal balik dengan lingkungan
b Penelitian sosial ekonomi, antara lain masalah penduduk sekitar hutan mangrove,
dan teknologi pemanfaatannya, termasuk pemanfaatan secara tradisional
c Penelitian mengenai kecenderungan permintaan atas produk hutan mangrove
d Penelitian mengenai aspek geografi hutan mangrove untuk bahan pertimbangan
penunjukan sebagai kawasan konservasi alam
e Penelitian untuk menelaah pelaksaan kebijaksanaan mengenai hutan mangrove
(Suwelo dan Manan, 1986).
Disarankan prioritas utama penelitian diletakkan pada kegiatan inventarisasi,
meliputi pemetaan, distribusi, pendugaan luas dan identifikasi tipe hutan. Penelitian
terapan perlu dipusatkan pada penelitian silvikultur, metode peremajaan dan
produktivitas. Di bidang sosial perlu diteliti pemanfaatan tradisional, tata guna lahan
dan pemilikan, analisis “cost-benefit” jangka panjang yang berkaitan dengan
perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Budiman, Kartawinata dan
Soerianegara, 1984).
Kartawinata dkk. (1979) mengemukakan bahwa ekosistem hutan mangrove di Indonesia sudah banyak diteliti orang. Akan tetapi, penelitian-penelitian yang
dilakukan orang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri. Jarang atau dapat
dikatakan tidak ada pendekatan penelitian pada tingkat ekosistem yang dilakukan
secara terpadu. Terlihat bahwa penelitian yang berjalan sendiri-sendiri kurang dapat
dipakai sebagai dasar kebijaksanaan (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara,
1984).
Bermacam-macam karakter dari ekosistem mangrove di daerah pantai
sekarang telah diketahui dengan baik di Indonesia. Namun, manajemen dan
pemanfaatan sumberdaya ini hingga kini memiliki dasar ilmiah yang sangat sedikit.
Burbridge dan Koesoebiono (1980) yakin bahwa strategi pengembangan yang
sekarang dari sumberdaya mangrove di Indonesia telah didasarkan pada informasi
yang terbatas dan tidak lengkap (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1989).
3 dikutip dari intisari hasil Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden 3-5 Agustus 1982


PENUTUP

Sebagai hutan yang memiliki peranan yang sangat penting, hutan mangrove
memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Setiap kebijaksanaan yang
diambil harus diputuskan dengan cermat melalui suatu penelitian yang terpadu.
Penelitian dalam usaha pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan
mangrove biasanya terbentur oleh data yang sudah lama dan informasi yang tidak
lengkap, ataupun informasi yang sebenarnya lengkap namun terpisah-pisah. Oleh
karena itu diperlukan suatu sistem informasi yang dapat merangkum informasi
menjadi suatu sistem informasi yang terpadu, yang datanya mudah diperbaharui
sejalan dengan perubahan waktu dan mampu memberikan informasi yang lengkap
untuk pengelolaan hutan mangrove yang terencana dan mantap.
Usaha-usaha pelestarian hutan mangrove harus dilaksanakan dengan
mempertimbangkan peran hutan mangrove itu sendiri bagi kelestariannya dan
kehidupan masyarakat di sekitar hutan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam
Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI.
Jakarta.
Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di
Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Budiman, A., K. Kartawinata dan I. Soerianegara. 1984. Arah Penelitian Hutan
Mangrove di Indonesia sebagai Dasar Kebijaksanaan Pengembangan dan
Pengelolaannya dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai
(Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani.
Jakarta.


Naamin, N. 1988. Masalah Pengelolaan Perikanan Laut di Pantai Timur Sumatera
dalam kaitannya dengan Perubahan Lingkungan dalam Coastal Zone
Environmental Planning in the Strait of Malacca, Lokakarya Perairan Pantai
Perencanaan Lingkungan untuk Selat Malaka, Palembang, Indonesia 7-9 Juni
1988. F. Sjarkowi, W. J. M. Verheugt dan H. J. Dirschl (ed.). Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Development of Environmental Study
(DESC) Project UNDP/IBRD/GOI. Palembang.
.2002 digitized by USU digital library 6
Nugroho, S. G., A. Setiawan dan S. P. Harianto. 1991. “Coupled Ecosystem Silvo-
Fishery” Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak yang Saling Mendukung
dan Melindungi dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia
Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.
Parry, D. E. 1996. Strategi Nasional untuk Pengelolaan Hutan Mangrove di
Indonesia dalam Lokakarya “Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di
Indonesia, Jakarta, 26-27 Juni 1996. Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi
Hutan Mangrove di Sulawesi, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Soemodihardjo, S and I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in
Indonesia in Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and
Economic Considerations, Bogor, Indonesia, August 9-11, 1988. Biotrop
Special Publication No. 37/1989. Bogor.
Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove
dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Suwelo, I. S. dan S. Manan. 1986. Jalur Hijau Hutan Mangrove sebagai Wilayah
Konservasi Daerah Pantai dalam Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan
Mangrove. I. Soerianegara, S. Hardjowigeno, N. Naamin, M. Soedomo, A.
Abdullah (ed.). Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta
Tjardana dan E. Purwanto. 1995. Hutan Mangrove Indonesia, terjemahan bebas
dari “Indonesian Mangrove Forest” publikasi Departemen Kehutanan. Duta
Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.

You Tube....