Selasa, 11 November 2008

KAJIAN KEBERADAAN HUTAN MANGROVE: PERAN, DAMPAK KERUSAKAN DAN USAHA KONSERVASI

A. PENDAHULUAN

Indonesia membentang sejauh 5000 km dari Sumatra di bagian barat hingga
Irian Jaya di bagian timur. Indonesia merupakan negara archipelago (nusantara)
terbesar di dunia dengan luas teritorial daratan dan lautan kira-kira 7,7 juta km2,
terdiri atas 17.500 pulau dengan garis pantai lebih dari 81.000 km. Hanya Kanada
yang memiliki garis pantai yang lebih panjang dan itupun sebagian besar terkepung
es, dengan begitu Indonesia memiliki garis pantai aktif yang potensial secara
ekonomis yang terbesar di dunia. Hampir 75% dari wilayah terdiri dari perairan
pesisir dan lautan termasuk 3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago serta 2,7
juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Parry, 1996).
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/kpts/DJ/I/1978
tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud dengan hutan
mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut (Darsidi, 1984).
Indonesia yang memiliki pulau-pulau dan garis pantai yang panjang
menunjukkan bahwa apabila hutan mangrove dikelola dengan baik dapat
memberikan manfaat yang sangat besar secara lestari (Tjardana dan Purwanto,
1995).
Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya alam yang potensial telah
lama diusahakan. Pada mulanya bentuk pemanfaatan oleh masyarakat pada
hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain dengan
penebangan hutan mangrove untuk memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun
untuk atap rumah dan sebagainya; serta penangkapan ikan, udang dan jenis-jenis
biota air lainnya. Dan perkembangan selanjutnya pemanfaatan ini berkembang ke
arah bentuk pengusahaan yang bersifat komersial dan dilakukan secara besarbesaran, baik dalam bentuk pengusahaan hutan bakau yang dilakukan pada areal hutan yang tetap dengan pola yang teratur oleh perusahaan perkayuan maupun untuk usaha pertambakan yang makin bertambah meluas. Disamping itu dengan
adanya pertambahan penduduk yang main meningkat, bentuk pemanfaatan tidak
saja dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dari hutan tersebut, tetapi malah
berkembang ke bentuk pemanfaatan lahannya sendiri untuk usaha-usaha lainnya
seperti untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman. Dengan semakin lajunya
pemanfaatan hutan mangrove yang terkait pada berbagai sektor usaha, maka segala
bentuk pemanfaatan ini kemudian diatur dan dikelola secara sektoral
(departemental). Pada saat ini penataan mangrove belum dilakukan secara
keseluruhan. Selain itu adalah demografi belum terkendali dan dinamika hutannya
sendiri belum diungkapkan secara, maka sampai sekarang kegiatan-kegiatan yang
ada masih berjalan sendiri-sendiri baik yang dilakukan oleh instansi yang
berkepentingan maupun oleh masyarakat terutama penduduk yang berdekatan
dengan kawasan hutan mangrove.1
Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut,
sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai
yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu
perairan. Sudah lebih dari seabad hutan mangrove diketahui memberi manfaat pada
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu
sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp
untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat
obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai
fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi
pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan
lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lain adalah sebagai penghasil
bahan organik yang merupakan pakan makanan biota, tempat berlindung dan
memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut. Juga berbagai habitat
satwa terbang, seperti burung-burung air, kelelawar dan berbagai habitat primata
seperti bekantan yang bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung
maupun monyet. Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya,
biawak dan banyak jenis insekta.2
1 Dikutip dari intisari Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990
2 Pengarahan Menteri Kehutanan, Dr. Soedjarwo pada Seminar III Ekosistem Mangrove, Denpasar 5-8
Agustus 1986


B. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DAN PERANANNYA

Hutan mangrove ialah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial
di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan
terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara,
1987).
Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna,
estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan
dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan
perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan.
Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi
sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan
sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang
menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem
mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya.
Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai
yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara
biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai,
termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan,
pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat
bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara
ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku
industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove,
baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis
binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan
mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan
pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987).
Hutan mangrove mempunyai multifungsi yaitu fungsi hayati, fungsi fisik dan
fungsi kimiawi. Sebagai penyumbang kesuburan perairan sudah tidak bisa disangkal
lagi karena kawasan hutan mangrove merupakan perangkap nutrisi dan bahan
organik yang terbawa aliran sungai dan rawa. Bahan organik mengalami
penghancuran oleh fauna hutan mangrove dan selanjutnya proses dekomposisi oleh
jasad renik menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana. Bersama dengan
nutrisi yang dibawa sungai, bahan tersebut diserap oleh tumbuh-tumbuhan (Suwelo
dan Manan, 1986).
Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau
pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan
mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang
dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984).



C. HUTAN MANGROVE, PENDUDUK, EKONOMI
DAN KONSERVASI


Sebagian masyarakat menganggap hutan mangrove adalah daerah tidak
berguna, sarang nyamuk, sarang hama dan bibit penyakit dan kumuh (Ch. Endah
Nirarita, 1993). Karena anggapan tersebut, maka hutan mangrove kurang
berkembang dan cenderung menyusut bahkan menuju kepunahan. Hal ini
disebabkan karena peranan hutan mangrove tidak dapat diungkapkan secara
obyektif dan komprehensif. Mekanisme ekonomi hanya menampung peranan hutan
mangrove yang bisa melewati pasar dan memilih manfaat yang dapat diberi nilai
uang (Emil Salim, 1986; Hadipurnomo, 1995).
Hutan mangrove yang dahulu dianggap sebagai hutan yang kurang
mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang cukup
berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi
masyarakat yang berdiam di sekitarnya (Darsidi, 1984).
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa akhir-akhir ini terlihat gangguangangguan
yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah
ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan
perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah
perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota (Darsidi, 1984).
Agaknya sudah dapat diraba bahwa mati hidupnya ekosistem hutan
mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Dengan masuknya
teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga kedudukan
ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam mengelola hutan mangrove hendaknya
jangan hanya melihat nilai ekonominya saja dengan maksud agar cepat
menghasilkan tanpa melihat kerugian dalam jangka panjang, akan tetapi juga harus
memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata
dan Soerianegara, 1984).
Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan
erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah
lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari
pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman
pantai makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995).
Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan
mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di
perairan sekitar daerah tersebut (Naamin, 1988).
Usaha-usaha pelestarian yang harus dikembangkan adalah:
1. Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi,
hendaknya dengan melihat prioritas sebagai berikut:
a Hutan mangrove yang berdekatan dengan muara sungai
b Hutan mangrove yang berdekatan dengan daerah penangkapan ikan ataupun
daerah pengeringan ikan
c Hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman dan industri
d Hutan mangrove yang merupakan penyangga mutlak terhadap bahaya erosi
maupun banjir
e Hutan mangrove yang mempunyai tumbuhan muda yang rapat
f Hutan mangrove yang terdapat di suatu pulau
2. Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk
memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat
langsungnya
3. Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang
jelas dan pertimbangan yang rasional.3



D. LINGKUP PENELITIAN DAN KAJIAN TENTANG
HUTAN MANGROVE

Penelitian mengenai hutan mangrove di Indonesia perlu ditingkatkan dengan
memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan, antara lain:
a Penelitian multidisiplin tentang sifat biologi, geografi dan fisik hutan mangrove
serta hubungan timbal balik dengan lingkungan
b Penelitian sosial ekonomi, antara lain masalah penduduk sekitar hutan mangrove,
dan teknologi pemanfaatannya, termasuk pemanfaatan secara tradisional
c Penelitian mengenai kecenderungan permintaan atas produk hutan mangrove
d Penelitian mengenai aspek geografi hutan mangrove untuk bahan pertimbangan
penunjukan sebagai kawasan konservasi alam
e Penelitian untuk menelaah pelaksaan kebijaksanaan mengenai hutan mangrove
(Suwelo dan Manan, 1986).
Disarankan prioritas utama penelitian diletakkan pada kegiatan inventarisasi,
meliputi pemetaan, distribusi, pendugaan luas dan identifikasi tipe hutan. Penelitian
terapan perlu dipusatkan pada penelitian silvikultur, metode peremajaan dan
produktivitas. Di bidang sosial perlu diteliti pemanfaatan tradisional, tata guna lahan
dan pemilikan, analisis “cost-benefit” jangka panjang yang berkaitan dengan
perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Budiman, Kartawinata dan
Soerianegara, 1984).
Kartawinata dkk. (1979) mengemukakan bahwa ekosistem hutan mangrove di Indonesia sudah banyak diteliti orang. Akan tetapi, penelitian-penelitian yang
dilakukan orang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri. Jarang atau dapat
dikatakan tidak ada pendekatan penelitian pada tingkat ekosistem yang dilakukan
secara terpadu. Terlihat bahwa penelitian yang berjalan sendiri-sendiri kurang dapat
dipakai sebagai dasar kebijaksanaan (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara,
1984).
Bermacam-macam karakter dari ekosistem mangrove di daerah pantai
sekarang telah diketahui dengan baik di Indonesia. Namun, manajemen dan
pemanfaatan sumberdaya ini hingga kini memiliki dasar ilmiah yang sangat sedikit.
Burbridge dan Koesoebiono (1980) yakin bahwa strategi pengembangan yang
sekarang dari sumberdaya mangrove di Indonesia telah didasarkan pada informasi
yang terbatas dan tidak lengkap (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1989).
3 dikutip dari intisari hasil Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden 3-5 Agustus 1982


PENUTUP

Sebagai hutan yang memiliki peranan yang sangat penting, hutan mangrove
memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Setiap kebijaksanaan yang
diambil harus diputuskan dengan cermat melalui suatu penelitian yang terpadu.
Penelitian dalam usaha pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan
mangrove biasanya terbentur oleh data yang sudah lama dan informasi yang tidak
lengkap, ataupun informasi yang sebenarnya lengkap namun terpisah-pisah. Oleh
karena itu diperlukan suatu sistem informasi yang dapat merangkum informasi
menjadi suatu sistem informasi yang terpadu, yang datanya mudah diperbaharui
sejalan dengan perubahan waktu dan mampu memberikan informasi yang lengkap
untuk pengelolaan hutan mangrove yang terencana dan mantap.
Usaha-usaha pelestarian hutan mangrove harus dilaksanakan dengan
mempertimbangkan peran hutan mangrove itu sendiri bagi kelestariannya dan
kehidupan masyarakat di sekitar hutan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam
Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI.
Jakarta.
Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di
Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Budiman, A., K. Kartawinata dan I. Soerianegara. 1984. Arah Penelitian Hutan
Mangrove di Indonesia sebagai Dasar Kebijaksanaan Pengembangan dan
Pengelolaannya dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai
(Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani.
Jakarta.


Naamin, N. 1988. Masalah Pengelolaan Perikanan Laut di Pantai Timur Sumatera
dalam kaitannya dengan Perubahan Lingkungan dalam Coastal Zone
Environmental Planning in the Strait of Malacca, Lokakarya Perairan Pantai
Perencanaan Lingkungan untuk Selat Malaka, Palembang, Indonesia 7-9 Juni
1988. F. Sjarkowi, W. J. M. Verheugt dan H. J. Dirschl (ed.). Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Development of Environmental Study
(DESC) Project UNDP/IBRD/GOI. Palembang.
.2002 digitized by USU digital library 6
Nugroho, S. G., A. Setiawan dan S. P. Harianto. 1991. “Coupled Ecosystem Silvo-
Fishery” Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak yang Saling Mendukung
dan Melindungi dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia
Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.
Parry, D. E. 1996. Strategi Nasional untuk Pengelolaan Hutan Mangrove di
Indonesia dalam Lokakarya “Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di
Indonesia, Jakarta, 26-27 Juni 1996. Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi
Hutan Mangrove di Sulawesi, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Soemodihardjo, S and I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in
Indonesia in Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and
Economic Considerations, Bogor, Indonesia, August 9-11, 1988. Biotrop
Special Publication No. 37/1989. Bogor.
Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove
dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian
Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Suwelo, I. S. dan S. Manan. 1986. Jalur Hijau Hutan Mangrove sebagai Wilayah
Konservasi Daerah Pantai dalam Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan
Mangrove. I. Soerianegara, S. Hardjowigeno, N. Naamin, M. Soedomo, A.
Abdullah (ed.). Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta
Tjardana dan E. Purwanto. 1995. Hutan Mangrove Indonesia, terjemahan bebas
dari “Indonesian Mangrove Forest” publikasi Departemen Kehutanan. Duta
Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.

Tidak ada komentar:

You Tube....